Minggu, 20 Januari 2008

Mengelola Sampah Tak Perlu Teknologi Mahal

Untuk kesekian kalinya, masyarakat di sekitar Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Desa Bojong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat berontak. Sekalipun baru mau diuji coba, mereka tak percaya terhadap janji-janji pengelola yang katanya menggunakan teknologi maju dan mahal untuk memerangi sampah. "Kami tetap bersikukuh desa kami tak mau dijadikan tempat pembuangan sampah," kata Syamsudin, warga Bojong kepada Pembaruan, pekan lalu. Ia tidak sendirian. Sikap serupa juga mengendap pada sebagian besar warga yang berada di Kecamatan Kelapa Nunggal itu. Kemarahan warga bisa dimaklumi. Mereka paham betul yang namanya tempat pembuangan sampah di seluruh penjuru Negeri ini terlihat jorok, bau, dan sumber penyakit. Lebih dari itu, masih segar dari ingatan mereka ketika tragedi memilukan terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Leuwigajah, Cimahi, pada 21 Februari lalu. Bukan apa-apa, longsoran sampah itu telah mengubur lebih dari 143 orang dan 139 rumah penduduk yang berada di sekitar TPA tersebut. Inilah rekor bencana tertinggi sepanjang sejarah di Indonesia dari sebuah penampungan sampah. Tidak hanya itu saja. Jumlah korban tersebut merupakan terbesar kedua di dunia. Rekor terdahsyat dicapai di TPA Payatas, Quezon City, Filipina pada 10 Juli 2000. Ketika itu, lebih dari 200 orang tewas terkubur oleh longsoran sampah. Angka itu belum termasuk ratusan orang lainnya yang dinyatakan hilang dalam bencana tersebut. Yunani menempati urutan ketiga. Di TPA Ano Liossia, sekitar 10 km sebelah utara Athena, puluhan orang tewas terkubur longsoran sampah pada Maret 2003. Dunia pun berduka. Rentetan malapetaka besar itu punya banyak kesamaan. Salah satunya, terjadi pada saat timbunan sampah menggunung. Kondisi itu tidak diimbangi dengan desain atau konstruksi bangunan TPA yang memadai. Sampah dihamparkan begitu saja (sistem landfill). Kecemasan terhadap keberadaan TPA bukan saja dialami masyarakat awam. Para pakar teknologi lingkungan, termasuk Prof Dr Ir Enri Damanhuri dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pun merasakan hal serupa. "Bisa saja kita mengolah sampah dengan teknologi tinggi. Tetapi dari mana dananya?" ujar Enri kepada Pembaruan, baru-baru ini. Sebab, dana untuk membeli teknologi mutakhir itu sangat besar. Di Cina misalnya, tambah Walikota Cimahi, HM Itoc Tochija yang pernah meninjau langsung fasilitas pengolah sampah di negara terbesar jumlah pendududuknya itu, harga mesin pengolah sampah berkapasitas 500 m3/hari itu sekitar Rp 100 miliar. Jadi, untuk mengolah sampah Jakarta dan Bogor yang mencapai belasan ribu meter kubik setiap hari, investasinya bisa mencapai triliunan rupiah. Memang banyak keunggulan yang ditawarkan dari teknologi modern tersebut. Selain tidak menimbulkan bau sehingga tempat pengelolaan sampah bisa berada sangat dekat dengan permukiman, juga membutuhkan lahan yang tidak luas, hanya sekitar lima hektare. Teknologi dari Kanada lain lagi. Sistem pengolahan sampahnya seperti usus sapi. Jadi sampah yang datang langsung dimasukkan ke dalam mesin. Sampah tersebut lalu dilarutkan dan diurai oleh air dan dengan menggunakan bantuan bakteri akan menghasilkan kompos. Kompos tersebut bisa menjadi pakan ternak dan pupuk tanaman. Menurut informasi, kompos made in Kanada itu mempunyai kualitas yang sangat bagus. Ada juga teknologi pengolah sampah yang dicampur batubara ala Jepang dan Cina. Sampah rumah tangga itu dicampur dengan batubara (berkadar 20 persen). Setelah dibakar timbul panas, lalu dialiri air dan muncullah uap yang menggerakkan turbin, sehingga jadilah listrik. Tak Usah Berambisi Lalu, bagaimana dengan pengelolaan sampah Indonesia? "Kita tidak usah berambisi membeli teknologi mahal. Teknologi yang ada saja kita manfaatkan," saran Enri. Teknologi dimaksud adalah sistem landfill. "Dari situ, kita bisa mengubah sampah menjadi gas. Ini paling memungkinkan karena kondisi iklim kita tergolong panas," ujar Enri. Hanya saja, kalau mau memanen gas metan dari awal harus didesain berbagai lapisan untuk menyedot gas tersebut. Intinya, di setiap lapisan sampah, dibuat saluran atau pipa yang berisi kerikil. Begitu ada gas, kerikil inilah yang akan mengarahkannya menuju ke cerobong. Pada sampah yang dikelola secara landfill, jika 25 persen gas tersebut tertangkap, berarti sudah menguntungkan secara ekonomis. Berdasarkan riset yang digarap tim ITB, di sebuah TPA di Cirebon, konsentrasi gasnya sudah mencapai 40 sampai 50 persen. Ketika itu debitnya tidak bisa dihitung secara pasti karena yang dipasang hanya satu pipa. Gas yang keluar itu tidak murni, masih mengandung uap air dan bercampur dengan gas lainnya, seperti karbondioksida (CO2). Karena itu, gas tersebut harus dimurnikan dulu dengan menggunakan kapur agar dihasilkan gas metan (CH4) murni. Selain menghasilkan gas, sistem landfill juga bisa memanen kompos. Teknologi dan proses pembuatan pupuk kompos berbahan baku sampah juga terbilang mudah dan semuanya menggunakan komponen lokal alias tidak ada yang diimpor. Tahap awal dimulai dari memilah-milah sampah organik yang akan dikomposkan. Sampah organik tersebut lalu ditumpuk sesuai ukuran yang dikehendaki. Agar tidak bau, tumpukan sampah itu bisa ditambahkan zeolit alami secukupnya. Setiap hari, tumpukan sampah tersebut disiram air hingga merembes ke lantai. Tujuannya, mempercepat kerja bakteri pengurai. Air itu lalu dialirkan melalui saluran drainase dan ditampung di bak. Sisa air ini juga bisa dipakai lagi untuk menyiram sampah keesokan harinya. Jadi, air kotor ini tidak mencemari lingkungan di sekitarnya. Gundukan sampah itu lalu dibalik secara manual setiap minggu. Tujuannya, untuk membantu proses homogenisasi dan aerasi. Dengan begitu, sampah-sampah organik dihancurkan secara alami oleh mikroba perombak. Proses pengomposan ini berjalan selama tujuh atau delapan minggu. Setelah itu, barulah kompos matang itu diayak lalu dikemas. Kompos yang masih kasar (tak lolos ayakan) dikembalikan lagi ke tumpukan sampah sebelumnya. Dengan demikian, tidak ada sedikit material atau limbah yang tersisa. Biasanya, dari 100 kg sampah organik, sebanyak 40 persen atau sekitar 40 kg menjadi pupuk kompos. Ir Firman L Syahwan MSi, peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang terlibat aktif dalam mengolah sampah organik mengatakan, kompos semacam itu berkhasiat bagi kesuburan tanaman. Jadi, kita perlu hati-hati jika ada pihak yang menawarkan teknologi untuk mendapatkan listrik dari sampah. Bukan apa-apa, jenis sampah yang ada di Indonesia sangat berbeda dengan teknologi pengolahan sampah itu berasal. Untuk mendapatkan listrik maka sampah harus mempunyai kalor atau nilai panas yang tinggi. Kalor tinggi itu berasal dari sampah kertas dan plastik. Menurut Enri, sampah plastik mempunyai nilai kalor sekitar 6.000 kalori. Sementara itu kertas memiliki nilai kalor 4.000-5.000 kalori. Sedangkan sampah lainnya seperti daun hanya 500 kalori. Fakta di lapangan menunjukkan, sampah kertas dan plastik itu sebagian besar sudah disortir oleh pemulung. Kecuali jika kertas dan plastiknya tidak boleh diambil oleh pemulung, seperti yang pernah digagas salah satu investor. Alasan tersebut masuk akal. Begitu kertas dan plastik diambil, berarti nilai kalornya rendah. Praktis, konversinya ke listrik juga jauh lebih rendah lagi. Menurut Enri, listrik yang didapat per ton sampah di Indonesia, sangat kecil. Hal itu selain mengandung sedikit plastik dan kertas, juga sampahnya basah. Sampah basah tidaklah menguntungkan, karena panas yang digunakan dalam incenerator itu sebagian besar malah digunakan untuk memasak air. "Karena itulah, di Indonesia sampai kini belum ada investor yang berani mengonversi sampah menjadi listrik," ujar Enri. Bukan apa-apa, menurut hitungannya, investor baru balik modal 10 atau 15 tahun lagi. Hal ini tentu tidak ekonomis bagi sebuah bisnis di era modern.*(Budiman) Sumber : Suara Pembaruan (4/8/05) ***

Tidak ada komentar: